PENDAHULUAN
Pendidikan
pada dasarnya adalah upaya untuk menjadikan manusia berbudaya. Budaya dalam
pengertian yang sangat luas mencakup segala aspek kehidupan manusia, yang
dimulai dari cara berpikir, bertingkah laku sampai produk-produk berpikir manusia
yang berwujud dalam bentuk benda (materil) maupun dalam bentuk sistem
nilai (in- materil).
Pergaulan antar umat di dunia yang semakin intensif akan melahirkan budaya-budaya baru, baik berupa pencampuran budaya, penerimaan budaya oleh salah satu pihak atau keduanya, dominasi budaya, atau munculnya budaya baru. Keseluruhan proses ini tentu saja dipengaruhi oleh proses pendidikan di masyarakat.
Pergaulan antar umat di dunia yang semakin intensif akan melahirkan budaya-budaya baru, baik berupa pencampuran budaya, penerimaan budaya oleh salah satu pihak atau keduanya, dominasi budaya, atau munculnya budaya baru. Keseluruhan proses ini tentu saja dipengaruhi oleh proses pendidikan di masyarakat.
Pemunculan kebudayaan baru tidak
sepenuhnya memberikan efek positif terhadap perkembangan suatu bangsa, tetapi
ada juga yang berdampak negative. Untuk menghindari hal-hal negatif dari suatu
kebudayaan baru, diperlukan berbagai upaya untuk mengadakan saringan kebudayaan
yang dianggap paling tepat untuk diterapkan . Oleh karena itu, pemahaman
terhadap kebudayaan menjadi penting bagi seorang pendidik agar pendidik
memahami secara persis kebudayaan dan pengaruhnya terhadap perkembangan
masyarakat.
MANUSIA, NILAI, MORAL, dan HUKUM
A. Manusia
Pengertian
Secara bahasa manusia berasal
dari kata “manu” (Sansekerta), “mens” (Latin), yang berarti berpikir, berakal
budi atau makhluk ang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain). Secara
istilah manusia dapat diartikan sebuah konsep atau sebuah fakta, sebuah gagasan
atau realitas, sebuah kelompok (genus) atau seorang individu. Dalam hubungannya
dengan lingkungan, manusia merupakan suatu oganisme hidup (living organism).
Terbentuknya pribadi seseorang
dipengaruhi oleh lingkungan bahkan secara ekstrim dapat dikatakan, setiap orang
berasal dari satu lingkungan, baik lingkungan vertikal (genetika, tradisi),
horizontal (geografik, fisik, sosial), maupun kesejarahan. Tatkala seorang bayi
lahir, ia merasakan perbedaan suhu dan kehilangan energi, dan oleh karena itu
ia menangis, menuntut agar perbedaan itu berkurang dan kehilangan itu
tergantikan. Dari sana timbul anggapan dasar bahwa setiap manusia di anugerahi
kepekaan (sense) untuk membedakan (sense of discrimination) dan keinginan untuk
hidup. Untuk dapat hidup, ia membutuhkan sesuatu. Alat untuk memenuhi kebutuhan
itu bersumber dari lingkungan
Manusia adalah makhluk yang tidak
dapat dengan segera menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Pada masa bayi
sepenuhnya manusia tergantung kepada individu lain. Ia belajar berjalan, belajar
makan, belajar berpakaian, belajar membaca, belajar membuat sesuatu dan
sebagainya, memerlukan bantuan orang lain yang lebih dewasa.
Malinowski(1949), salah satu
tokoh ilmu Antropologi dari Polandia menyatakan bahwa ketergantungan individu
terhadap individu lain dalam kelompoknya dapat terlihat dari usaha-usaha
manusia dalam memenuhi kebutuhan biologis dan kebutuhan sosialnya yang
dilakukan melalui perantaraan kebudayaan.
Rasa aman secara khusus
tergantung kepada adanya system perlindungan dalam rumah, pakaian dan
peralatan. Perlindungan akan lebih mudah diwujudkan kalau manusia berkelompok.
Untuk menghasilkan keamanan dan kenyamanan hidup berkelompok ini, diciptakan
aturan-aturan dan kontrol-kontrol sosial tentang apa yang boleh dan yang
tidak boleh dilakukan oleh setiap anggota kelompok. Selain itu ditentukan pula
siapa yang berhak mengatur kehidupan kelompok untuk tercapainya tujuan bersama.
B. Nilai
Pengertian
Nilai adalah sesuatu yang
berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu
bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia.
Sifat-sifat nilai adalah Sebagai berikut.
1. Nilai itu suatu relitas abstrak dan ada dalam
kehidupan manusia. Nilai yang bersifat abstrak tidak dapat diindra. Hal yang
dapat diamati hanyalah objek yang bernilai itu. Misalnya orang yang memiliki
kejujuran. Kejujuran adalah nilai, tetapi kita tidak bias menindra kejujuran
itu.
2. Nilai memiliki sifat normative, artinya nilai
mengandung harapan, cita-cita dan suatu keharusan. Nilai diwujudkan dalam
bentuk norma sebagai landasan manusia dalam bertindak. Misalnya nilai keadilan.
Semua orang berharap manusia dan mendapatkan dan berperilaku yang mencerminkan
nilai keadilan.
3. Niliai berfungsi sebagai daya dorong dan manusia
adalah pendukung nilai. Manusia bertindak berdasar dan didorong oleh nilai yang
diyakininya. Misalnya nilai ketakwaan. Adanya nilai ini menjadikan semua orang
terdorong untuk bisa mencapai derajat ketakwaan.
·
Menurut
Cheng(1995) :Nilai merupakan sesuatu yang potensial,dalam arti terdapatnya hubungan
yang harmonis dan kreatif, sehingga berfungsi untuk menyempurnakan manusia, sedangkan
kualitas merupakan atribut atau sifat yang seharusnya dimiliki(dalam
Lasyo,1999,hlm.1).
·
Menurut
Lasyo(1999,hlm.9)sebagai berikut: Nilai bagi manusia merupakan landasan atau
motivasidalam segala tingkah laku atau perbuatannya. Jadi dapat disimpulkan
bahwa nilai yaitu sesuatu yang menjadi etika atau estetika yang menjadi pedoman
dalam berperilaku.
Manusia sebagai makhluk yang
bernilai akan memaknai nilai dalam dua konteks, pertama akan memandang nilai
sebagai sesuatu yang objektif, apabila dia memandang nilai itu ada meskipun
tanpa ada yang menilainya, bahkan memandang nilai telah ada sebelum adanya
manusia sebagai penilai. Baik dan buruk, benar dan salah bukan hadir karena hasil
persepsi dan penafsiran manusia, tetapi ada sebagai sesuatu yang ada dan
menuntun manusia dalam kehidupannya. kedua Pandangan di atas memandang nilai
itu subjektif, artinya nilai sangat tergantung pada subjek yang menilainya. Jadi
nilai memang tidak akan ada dan tidak akan hadir tanpa hadirnya penilai. Oleh
karena itu nilai melekat dengan subjek penilai.
C.
Moral
Pengertian
Moral berasal dari kata bahasa
Latin mores yang berarti adat kebiasaan.Kata mores ini mempunyai sinonim mos, moris,
manner mores atau manners, morals.
Dalam bahasa Indonesia, kata
moral berarti akhlak (bahasa Arab)atau kesusilaan yang mengandung makna tata
tertib batin atau tata tertib hati nurani yang menjadi pembimbing tingkah laku
batin dalam hidup. Kata moral ini dalam bahasa Yunani sama dengan ethos yang menjadi
etika. Secara etimologis, etika adalah ajaran tentang baik buruk, yang diterima
masyarakat umum tentang sikap, perbuatan, kewajiban, dan sebagainya.
Moral secara ekplisit adalah
hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu tanpa moral manusia
tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral dalam zaman sekarang mempunyai
nilai implisit karena banyak orang yang mempunyai moral atau sikap amoral itu
dari sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di
sekolah-sekolah dan manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati oleh
sesamanya. Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara
utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat.
Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan
seseorang dalam berinteraksi dengan manusia. Apabila yang dilakukan seseorang
itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat
diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai
mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya.Moral adalah produk dari
budaya dan Agama. Jadi moral adalah tata aturan norma-norma yang bersifat
abstrak yang mengatur kehidupan manusia untuk melakukan perbuatan tertentu dan
sebagai pengendali yang mengatur manusia untuk menjadi manusia yang baik.
D.
Hukum
Pengertian
Disamping
adat istiadat tadi, ada kaidah yang mengatur kehidupan manusia yaitu hukum, yang
biasanya dibuat dengan sengaja dan mempunyai sanksi yang jelas. Hukum dibuat
dengan tujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat agar terjadi keserasian
diantara warga masyarakat dan system sosial yang di bangun oleh suatu
masyarakat. Pada masyarakat modern hukum dibuat oleh lembaga – lembaga yang di berikan
wewenang oleh rakyat.
Keseluruhan kaidah dalam
masyarakat pada intinya adalah mengatur masyarakat agar mengikuti pola perilaku
yang disepakati oleh system sosial dan budaya yang berlaku pada masyarakat
tersebut. Pola-pola perilaku merupakan cara-cara masyarakat bertindak atau
berkelakuan yang sama dan harus diikuti oleh semua anggota masyarakat
tersebut.Setiap tindakan manusia dalam masyarakat selalu mengikuti pola-pola
perilaku masyarakat tadi. Pola perilaku berbeda dengan kebiasaan. Kebiasaan
merupakan cara bertindak seseorang yang kemudian diakui dan mungkin diikuti
oleh orang lain. Pola perilaku dan norma-norma yang dilakukan dan dilaksanakan
pada khususnya apabila seseorang berhubungan dengan orang lain, dinamakan sosial
organization.
E.
Manusia,
Nilai, Moral dan Hukum
Meskipun banyak pakar yang
mengemukakan pengertian nilai, namun ada yang telah disepakati dari semua
pengertian itu bahwa nilai berhubungan dengan manusia, dan selanjutnya nilai
itu penting. Pengertian nilai yang telah dikemukakan oleh setiap pakar pada
dasarnya adalah upaya dalam memberikan pengertian secara holistik terhadap
nilai, akan tetapi setiap orang tertarik pada bagian bagian yang “relatif belum
tersentuh” oleh pemikir lain.
Definisi yang mengarah pada
pereduksian nilai oleh status benda, terlihat pada pengertian nilai yang
dikemukakan oleh John Dewney yakni, Value Is Object Of Social Interest, karena
ia melihat nilai dari sudut kepentingannya.
Nilai dapat diartikan sebagai
sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia baik
lahir maupun batin. Bagi manusia nilai dijadikan sebagai landasan, alasan atau
motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari maupun tidak.
Nilai itu penting bagi manusia.
Apakah nilai itu dipandang dapat mendorong manusia karena dianggap berada dalam
diri manusia atau nilai itu menarik manusia karena ada di luar manusia yaitu
terdapat pada objek, sehingga nilai lebih dipandang sebagai kegiatan menilai.
Nilai itu harus jelas, harus semakin diyakini oleh individu dan harus di aplikasikan
dalam perbuatan. Menilai dapat di artikan menimbang yakni suatu kegiatan
manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu lainnya yang kemudian
dilanjutkan dengan memberikan keputusan. Keputusan itu menyatakan apakah
sesuatu itu bernilai positif (berguna, baik, indah) atau sebaliknya bernilai
negatif. Hal ini dihubungkan dengan unsur-unsur yang ada pada diri manusia
yaitu jasmani, cipta, rasa, karsa, dan kepercayaan.
Nilai memiliki polaritas dan hirarki, antara lain:
1. Nilai menampilkan diri dalam aspek positif dan aspek
negatif yang sesuai polaritas seperti baik dan buruk; keindahan dan kejelekan.
2. Nilai tersusun secara hierarkis yaitu hierarki urutan
pentingnya.
Nilai (value) biasanya digunakan untuk menunjuk kata benda abstrak yang dapat diartikan sebagai keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness). Notonagoro membagi hierarki nilai pokok yaitu:
Nilai (value) biasanya digunakan untuk menunjuk kata benda abstrak yang dapat diartikan sebagai keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness). Notonagoro membagi hierarki nilai pokok yaitu:
3. Nilai material yaitu sesuatu yang berguna bagi unsur
jasmani manusia.
4. Nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi
manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas.
5. Nilai kerohanian yaitu sesuatu yang berguna bagi
rohani manusia.
Nilai kerohanian terbagi menjadi empat macam:
1. Nilai kebenaran yang bersumber pada unsur akal atau
rasio manusia
2. Nilai keindahan atau nilai estetis yang bersumber pada
unsur perasaan estetis manusia
3. Nilai kebaikan moral yang bersumber pada kehendak atau
karsa manusia
4. Nilai religius yang bersumber pada kepercayaan manusia
dengan disertai penghayatan melalui akal budi dan nuraninya
Hal-hal yang mempunyai nilai
tidak hanya sesuatu yang berwujud (benda material) saja, bahkan sesuatu yang
immaterial seringkali menjadi nilai yang sangat tinggi dan mutlak bagi manusia
seperti nilai religius.
Nilai juga berkaitan dengan
cita-cita, keinginan, harapan, dan segala sesuatu pertimbangan internal
(batiniah) manusia. Dengan demikian nilai itu tidak konkret dan pada dasarnya
bersifat subyektif. Nilai yang abstrak dan subyektif ini perlu lebih
dikonkretkan serta dibentuk menjadi lebih objektif. Wujud yang lebih konkret
dan objektif dari nilai adalah norma/kaedah. Norma berasal dari bahasa latin
yakni norma, yang berarti penyikut atau siku-siku, suatu alat perkakas yang
digunakan oleh tukang kayu.
Dari sinilah kita dapat
mengartikan norma sebagai pedoman, ukuran, aturan atau kebiasaan. Jadi norma
ialah sesuatu yang dipakai untuk mengatur sesuatu yang lain atau sebuah ukuran.
Dengan norma ini orang dapat menilai kebaikan atau keburukan suatu perbuatan.
Ada beberapa macam norma/kaedah dalam masyarakat,
yaitu:
1. Norma kepercayaan atau keagamaan
2. Norma kesusilaan
3. Norma sopan santun/adab
4. Norma hokum
Dari norma-norma yang ada, norma
hukum adalah norma yang paling kuat karena dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh
penguasa (kekuasaan eksternal).
Nilai dan norma selanjutnya
berkaitan dengan moral. Moral berasal dari bahasa latin yakni mores kata jamak
dari mos yang berarti adat kebiasaan. Sedangkan dalam bahasa Indonesia moral
diartikan dengan susila. Sedangkan moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum
diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan mana yang wajar. Istilah
moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat kepribadian
seseorang sangat ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya. Makna moral yang
terkandung dalam kepribadian seseorang itu tercermin dari sikap dan tingkah
lakunya. Bisa dikatakan manusia yang bermoral adalah manusia yang sikap dan
tingkah lakunya sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat.
F.
Hubungan Manusia Dengan Nilai
Nilai
berhubungan erat dengan kegiatan manusia menilai. Menilai berarti menimbang,
yaitu kegiatan manusia menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, yang
selanjutnya di ambil suatu keputusan. Keputusan nilai dapat menyatakan berguna
atau tidak berguna, benar atau salah, baik atau buruk, penilaian ini di
hubungkan dengan unsur-unsur atau hal yang ada pada manusia.
G.
Hubungan
Manusia dengan Moral
Moral memiliki arti yang hampir
sama dengan etika. Etika berasal daribahasa kuno yang berarti ethos dalam
bentuk tunggal ethos memiliki banyak artiyaitu tempat tinggal biasa, padang
rumput, kebiasaan, adat, watak sikap, dan caraberfiki. Dalam bentuj jamak ethos
(ta etha) yang artinya adat kebiasaan. Moralberasal dari bahsa latin yaitu mos
(jamaknya mores) yang berarti adat, cara, dantampat tinggal. Dengan demikian
secara etismologi kedua kata tersebut bermaknasama hannya asal uasul bahasanya
yang berbeda dimana etika dari bahasa yunanisementara moral dari bahasa latin.
Moral yang pengertiaannya sama
dengan etika dalam makna nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Dalam ilmu filsafat
moral banyak unsur yang dikaji secara kritis, di landasi rasionalitas manusia
seperti sifat hakiki manusia, prinsip kebaikan, pertimbangan etis dalam
pengambilan keputusan terhadap sesuatu dan sebagainya. Moral lebih kepada sifat
aplikatif yaitu berupa nasehat tentang hal-hal yang baik.
Ada beberapa unsur dari kaidah moral yaitu :
1. Hati nurani merupakan fenomena Moral yang sangat
hakiki.
Hati nurani merupakan penghayatan
tentang baik atau buruk mengenai perilaku manusia dan hati nurani ini selalu di
hubunngkan dengan kesadaran manusia dan selalu terkait dalam dengan situasi
kongkret. Dengan hati nurani manusia akan sanggup mererfleksikan dirinya
terutama dalam mengenai dirinya sendiri atau juga mengenal orang.
2. Kebebasan dan tanggung jawab.
Kebebasan adalah milik individu
yang sangat hakiki dan manusiawi dankarena manusia pada dasarnya adal;ah
makhluk bebas. Tetapi di dalam kebebasan itu juga terbatas karena tidak boleh
bersinggungan dengan kebebasan orang lain ketika mereka melakukan interaksi.
Jadi, manusia itu adalah makhluk bebas yang dibatasi oleh lingkungannya sebagai
akibat tidak mampunya ia untuk hidup sendiri.
3. Nilai dan Norma Moral.
Nilai dan moral akan muncul
ketika berada pada orang lain dan ia akan bergabung dengan nilai lain seperti
agama, hukum, dan budaya. Nilai moral terkait dalam tanggung jawab seseorang.
Antara hukum dan moral terdapat
hubungan yang erat sekali. Ada pepatah roma yang mengatakan “quid leges sine
moribus?” (apa artinya undang-undang jika tidak disertai moralitas?). Dengan
demikian hukum tidak akan berarti tanpa disertai moralitas. Oleh karena itu
kualitas hukum harus selalu diukur dengan norma moral, perundang-undangan yang
immoral harus diganti. Disisi lain moral juga membutuhkan hukum, sebab moral
tanpa hukum hanya angan-angan saja kalau tidak di undangkan atau di lembagakan
dalam masyarakat.
Meskipun hubungan hukum dan moral begitu erat, namun hukum dan moral tetap berbeda, sebab dalam kenyataannya ‘mungkin’ ada hukum yang bertentangan dengan moral atau ada undang-undang yang immoral, yang berarti terdapat ke tidak cocokan antara hukum dan moral. Untuk itu dalam konteks ketatanegaraan indonesia dewasa ini. Apalagi dalam konteks membutuhkan hukum.
Meskipun hubungan hukum dan moral begitu erat, namun hukum dan moral tetap berbeda, sebab dalam kenyataannya ‘mungkin’ ada hukum yang bertentangan dengan moral atau ada undang-undang yang immoral, yang berarti terdapat ke tidak cocokan antara hukum dan moral. Untuk itu dalam konteks ketatanegaraan indonesia dewasa ini. Apalagi dalam konteks membutuhkan hukum.
Kualitas hukum terletak pada
bobot moral yang menjiwainya. Tanpa moralitas hukum tampak kosong dan hampa
(Dahlan Thaib,h.6). Namun demikian perbedaan antara hukum dan moral sangat
jelas.
Perbedaan antara hukum dan moral menurut K.Berten :
1. Hukum lebih dikodifikasikan daripada moralitas,
artinya dibukukan secara sistematis dalam kitab perundang-undangan. Oleh karena
itu norma hukum lebih memiliki kepastian dan objektif dibanding dengan norma
moral. Sedangkan norma moral lebih subjektif dan akibatnya lebih banyak ‘diganggu’
oleh diskusi yang yang mencari kejelasan tentang yang harus dianggap etis dan
tidak etis.
2. Meski moral dan hukum mengatur tingkah laku manusia,
namun hukum membatasi diri sebatas lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut
juga sikap batin seseorang.
3. Sanksi yang berkaitan dengan hukum berbeda dengan
sanksi yang berkaitan dengan moralitas. Hukum untuk sebagian besar dapat di paksakan,pelanggar
akan terkena hukuman. Tapi norma etis tidak bisa di paksakan, sebab paksaan
hanya menyentuh bagian luar, sedangkan perbuatan etis justru berasal dari
dalam. Satu-satunya sanksi di bidang moralitas hanya hati yang tidak tenang.
4. Hukum di dasarkan atas kehendak masyarakat dan
akhirnya atas kehendak negara. Meskipun hukum tidak langsung berasal dari
negara seperti hukum adat, namun hukum itu harus di akui oleh negara supaya
berlaku sebagai hukum.moralitas berdasarkan atas norma-norma moral yang
melebihi pada individu dan masyarakat. Dengan cara demokratis atau dengan cara
lain masyarakat dapat mengubah hukum, tapi masyarakat tidak dapat mengubah atau
membatalkan suatu norma moral. Moral menilai hukum dan tidak sebaliknya.
Sedangkan Gunawan Setiardja membedakan hukum dan moral
:
1. Dilihat dari dasarnya, hukum memiliki dasar yuridis,
konsesus dan hukum alam sedangkan moral berdasarkan hukum alam.
2. Dilihat dari otonominya hukum bersifat heteronom
(datang dari luar diri manusia), sedangkan moral bersifat otonom (datang dari
diri sendiri).
3. Dilihat dari pelaksanaanya hukum secara lahiriah dapat
dipaksakan,
4. Dilihat dari sanksinya hukum bersifat yuridis. moral
berbentuk sanksi kodrati, batiniah, menyesal, malu terhadap diri sendiri.
5. Dilihat dari tujuannya, hukum mengatur kehidupan
manusia dalam kehidupan bernegara, sedangkan moral mengatur kehidupan manusia
sebagai manusia.
6. Dilihat dari waktu dan tempat, hukum tergantung pada
waktu dan tempat, sedangkan moral secara objektif tidak tergantung pada tempat
dan waktu (1990,119).
H.
Hubungan
Manusia dengan Hukum
Hukum dalam masyarakat merupakan
tuntutan, mengingat bahwa kita tidak mungkin menggambarkan hidup manusia tanpa
atau di luar masyarakat. Maka manusia, masyarakat, dan hukum merupakan
pengertian yang tidak bisa dipisahkan. Untuk mencapai ketertiban dalam
masyarakat, diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar-manusia dalam
masyarakat. Kepastian ini bukan saja agar kehidupan masyarakat menjadi teratur
akan tetapi akan mempertegas lembaga-lembaga hukum mana yang melaksanakannya.
Hukum yang baik adalah hukum yang
sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya
sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat tersebut.
Manusia dan hukum adalah dua
entitas yang tidak bisa di pisahkan. Bahkan dalam ilmu hukum, terdapat adagium
yang terkenal yang berbunyi: “Ubi societas ibi jus” (di mana ada masyarakat di
situ ada hukumnya). Artinya bahwa dalam setiap pembentukan suatu bangunan
struktur sosial yang bernama masyarakat, maka selalu akan dibutuhkan bahan yang
bersifat sebagai “semen perekat” atas berbagai komponen pembentuk dari
masyarakat itu, dan yang berfungsi sebagai “semen perekat” tersebut adalah
hukum.
Untuk mewujudkan keteraturan,
maka mula-mula manusia membentuk suatu struktur tatanan (organisasi) di antara
dirinya yang dikenal dengan istilah tatanan sosial (social order) yang bernama:
masyarakat. Guna membangun dan mempertahankan tatanan sosial masyarakat yang
teratur ini, maka manusia membutuhkan pranata pengatur yang terdiri dari dua
hal: aturan (hukum) dan si pengatur (kekuasaan).
Kesimpulan
Manusia, nilai, moral dan hukum adalah suatu hal yang
saling berkaitan dan saling menunjang. Sebagai warga negara kita perlu
mempelajari, menghayati dan melaksanakan dengan ikhlas mengenai nilai, moral
dan hukum agar terjadi keselarasan.
Daftar Pustaka
M. Setiadi Elly, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, 2006 Jakarta: Kencana
Soekanto soerjono, Hukum Adat Indonesia, 1983, Jakarta: Tanjung Karang