Tujuan Hukum
Banyak teori atau pendapat mengenai tujuan hukum.
Berikut teori-teori dari para ahli :
1. Prof. Subekti, SH: Hukum itu mengabdi pada tujuan
negara yaitu mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya dengan cara
menyelenggarakan keadilan. Keadilan itu menuntut bahwa dalam keadaan yang sama
tiap orang mendapat bagian yang sama pula.
2. Prof. Mr. Dr. LJ. van Apeldoorn: Tujuan hukum adalah
mengatur hubungan antara sesama manusia secara damai. Hukum menghendaki
perdamaian antara sesama. Dengan menimbang kepentingan yang bertentangan secara
teliti dan seimbang.
3. Geny : Tujuan hukum semata-mata ialah untuk mencapai
keadilan. Dan ia kepentingan daya guna dan kemanfaatan sebagai unsur dari
keadilan.
4. Roscoe Pound berpendapat bahwa hukum berfungsi sebagai
alat merekayasa masyarakat (law is tool of social engineering).
5. Muchatr Kusumaatmadja berpendapat bahwa tujuan pokok
dan utama dari hukum adalah ketertiban. Kebutuhan akan ketertiban ini merupakan
syarat pokok bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur.
Tujuan hukum menurut hukum positif Indonesia termuat
dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang berbunyi “..untuk membentuk suatu
pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Pada umumnya hukum bertujuan menjamin adanya kepastian
hukum dalam masyarakat. Selain itu, menjaga dan mencegah agar tiap orang tidak
menjadi hakim atas dirinya sendiri, namun tiap perkara harus diputuskan oleh
hakim berdasarkan dengan ketentuan yang sedang berlaku.
2.9 Penegakan
Hukum
Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum
(rechtstaat), bukan berdasarkan kekuasaan (machstaat) apalagi bercirikan negara
penjaga malam (nachtwachterstaat). Sejak awal kemerdekaan, para bapak bangsa
ini sudah menginginkan bahwa negara Indonesia harus dikelola berdasarkan hukum.
Ketika memilih bentuk negara hukum, otomatis
keseluruhan penyelenggaraan negara ini harus sedapat mungkin berada dalam
koridor hukum. Semua harus diselenggarakan secara teratur (in order) dan setiap
pelanggaran terhadapnya haruslah dikenakan sanksi yang sepadan.
Penegakkan hukum, dengan demikian, adalah suatu
kemestian dalam suatu negara hukum. Penegakan hukum adalah juga ukuran untuk
kemajuan dan kesejahteraan suatu negara. Karena, negara-negara maju di dunia
biasanya ditandai, tidak sekedar perekonomiannya maju, namun juga penegakan
hukum dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) –nya berjalan baik. Dalam
menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan yaitu kepastian hukum,
kemanfaatan dan keadilan.
Friedmann berpendapat bahwa efektifitas hukum
ditentukan oleh tiga komponen, yaitu:
1. Substansi hokum yaitu materi atau muatan hukum. Dalam
hal ini peraturan haruslah peraturan yang benar-benar dibutuhkan oleh
masyarakat untuk mewujudkan ketertiban bersama.
2. Aparat Penegak Hukum agar hukum dapat ditegakkan,
diperlukan pengawalan yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang memiliki
komitmen dan integritas tinggi terhadap terwujudnya tujuan hukum.
3. Budaya Hukum yaitu budaya hukum yang dimaksud
adalah budaya masyarakat yang tidak berpegang pada pemikiran bahwa hukum ada
untuk dilanggar, sebaliknya hukum ada untuk dipatuhi demi terwujudnya kehidupan
bersama yang tertib dan saling menghargai sehingga harmonisasi kehidupan
bersama dapat terwujud.
Banyak pihak menyoroti penegakan hukum di Indonesia sebagai ‘jalan di tempat’ ataupun malah ‘tidak berjalan sama sekali.’ Pendapat ini mengemuka utamanya dalam fenomena pemberantasan korupsi dimana tercipta kesan bahwa penegak hukum cenderung ‘tebang pilih’, alias hanya memilih kasus-kasus kecil dengan ‘penjahat-penjahat kecil’ daripada buronan kelas kakap yang lama bertebaran di dalam dan luar negeri.
Banyak pihak menyoroti penegakan hukum di Indonesia sebagai ‘jalan di tempat’ ataupun malah ‘tidak berjalan sama sekali.’ Pendapat ini mengemuka utamanya dalam fenomena pemberantasan korupsi dimana tercipta kesan bahwa penegak hukum cenderung ‘tebang pilih’, alias hanya memilih kasus-kasus kecil dengan ‘penjahat-penjahat kecil’ daripada buronan kelas kakap yang lama bertebaran di dalam dan luar negeri.
Pendapat tersebut bisa jadi benar kalau penegakan
hukum dilihat dari sisi korupsi saja. Namun sesungguhnya penegakan hukum
bersifat luas. Istilah hukum sendiri sudah luas. Hukum tidak semata-mata
peraturan perundang-undangan namun juga bisa bersifat keputusan kepala adat.
Hukum-pun bisa diartikan sebagai pedoman bersikap tindak ataupun sebagai
petugas.
Dalam suatu penegakkan hukum, sesuai kerangka
Friedmann, hukum harus diartikan sebagai suatu isi hukum (content of law), tata
laksana hukum (structure of law) dan budaya hukum (culture of law). Sehingga,
penegakan hukum tidak saja dilakukan melalui perundang-undangan, namun juga
bagaimana memberdayakan aparat dan fasilitas hukum. Juga, yang tak kalah
pentingnya adalah bagaimana menciptakan budaya hukum masyarakat yang kondusif
untuk penegakan hukum.
Contoh paling aktual adalah tentang Perda Kawasan
Bebas Rokok misalnya. Peraturan ini secara normatif sangat baik karena
perhatian yang begitu besar terhadap kesehatan masyarakat. Namun, apakah telah
berjalan efektif? Ternyata belum. Karena, fasilitas yang minim, juga aparat
penegaknya yang terkadang tidak memberikan contoh yang baik. Sama halnya dengan
masyarakat perokok, kebiasaan untuk merokok di tempat-tempat publik adalah
suatu budaya yang agak sulit diberantas.
Oleh karenanya, penegakan hukum menuntut konsistensi
dan keberanian dari aparat. Juga, hadirnya fasilitas penegakan hukum yang
optimal adalah suatu kemestian. Misalnya, perda kawasan bebas rokok harus
didukung dengan memperbanyak tanda-tanda larangan merokok, atau menyediakan
ruangan khusus perokok, ataupun memasang alarm di ruangan yang sensitif dengan
asap.
Masyarakatpun harus senantiasa mendapatkan penyadaran
dan pembelajaran yang kontinyu. Maka, program penyadaran, kampanye, pendidikan,
apapun namanya, harus terus menerus digalakkan dengan metode yang partisipatif.
Karena, adalah hak dari warganegara untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan
yang tepat dan benar akan hal-hal yang penting dan berguna bagi kelangsungan
hidupnya.
2.10 Problematika
Hukum
Problema paling mendasar dari hukum di Indonesia
adalah manipulasi atas fungsi hokum oleh pengemban kekuasaan.
Problem akut dan mendapat sorotan lain adalah:
1. Aparatur penegak hukum ditengarai kurang banyak diisi
oleh sumber daya manusia yang berkualitas. Padahal SDM yang sangat ahli serta
memiliki integritas dalam jumlah yang banyak sangat dibutuhkan.
2. Peneggakkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya
karena sering mengalami intervensi kekuasaan dan uang. Uang menjadi
permasalahan karena negara belum mampu mensejahterakan aparatur penegak hukum.
3. Kepercayaan masyarakat terhadap aparatur penegak hukum
semakin surut. Hal ini berakibat pada tindakan anarkis masyarakat untuk
menentukan sendiri siapa yang dianggap adil.
4. Para pembentuk peraturan perundang-undangan sering
tidak memerhatikan keterbatasan aparatur. Peraturan perundang-undangan yang
dibuat sebenarnya sulit untuk dijalankan.
5. Kurang diperhatikannya kebutuhan waktu untuk mengubah
paradigma dan pemahaman aparatur. Bila aparatur penegak hukum tidak paham betul
isi peraturan perundang-undangan tidak mungkin ada efektivitas peraturan di
tingkat masyarakat.
Problem berikutnya adalah hukum di Indonesia hidup di dalam masyarakat yang tidak berorientasi kepada hukum. Akibatnya hukum hanya dianggap sebagai representasi dan simbol negara yang ditakuti. Keadilan kerap berpihak pada mereka yang memiliki status sosial yang lebih tinggi dalam masyarakat. Contoh kasus adalah kasus ibu Prita Mulyasari.
Problem berikutnya adalah hukum di Indonesia hidup di dalam masyarakat yang tidak berorientasi kepada hukum. Akibatnya hukum hanya dianggap sebagai representasi dan simbol negara yang ditakuti. Keadilan kerap berpihak pada mereka yang memiliki status sosial yang lebih tinggi dalam masyarakat. Contoh kasus adalah kasus ibu Prita Mulyasari.
Pekerjaan besar menghadang bangsa Indonesia di bidang
hukum. Berbagai upaya perlu dilakukan agar bangsa dan rakyat Indonesia sebagai
pemegang kedaulatan dapat merasakan apa yang dijanjikan dalam hukum.